Yunzhun Bloger's

Sabtu, 15 Oktober 2011

Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara di Indonesia1

Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban 
Keuangan Negara di Indonesia1


 1. Pengantar
  Perbaikan transparansi dan akuntabilitas  fiskal merupakan salah satu kunci bagi
keberhasilan perombakan sistem sosial yang  kita lakukan selama era reformasi, sejak
krisis ekonomi tahun 1997-1998. Di sektor ekonomi kita ingin beralih dari sistem
perencanaan terpusat kepada sistem yang  lebih banyak menggunakan mekanisme pasar.
Perencanaan terpusat dan kredit program pada masa Orde Baru telah menciptakan KKN.
Privatisasi dan deregulasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik negara
kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, efisiensi perekonomian nasional kita menjadi
semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997-1998. 
Dalam bidang politik, reformasi itu ingin menggantikan sistem politik otoriter
masa lalu dengan sistem demokrasi. Sistem politik yang demokratris itu memberikan
jaminan kebebasan berserikat dan bersuara  termasuk mendirikan partai politik. TNI dan
Polri tidak lagi memiliki wakil di DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil
presiden serta kepala-kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan
platform atau janji politiknya dan tidak lagi dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu,
MPR sekaligus menyusun GBHN. Dalam siste politik yang demokratis rakyat sekaligus
menuntut pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan
akuntabel. 
Dalam sistem pemerintahan, kita ingin merombak sistem pemerintahan
sentralistis masa lalu diganti dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada
daerah. Transparansi dan akuntabilitas fiskal mengurangi sumber konflik antara
Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah sehingga dapat dipelihara keutuhan negara
kesatuan Republik Indonesia.
The founding fathers kita yang menyusun UUD 1945 sadar akan pentingnya
transparansi dan akuntabilitas fiskal untuk mewujudkan bhinneka tunggal ika. Bab VIIIA,
                                                           
1
 Makalah untuk  luncheon  discussion Musyawarah Nasional Ketiga Asosiasi Pemerintah Provinsi
Indonesia, Surabaya,  Senin, 22 Oktober 2007.   2
Pasal 23 E sampai dengan Pasal 23 G, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya
badan pemeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara pada ketiga
lapis pemerintahan Republik Indonesia, yakni: pusat, provinsi dan kabupaten/kota
2
.
Berbeda dengan di negara lain, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai suatu lembaga
negara sendiri yang sejajar dengan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Di negara
lain, lembaga sebagai BPK merupakan aparat DPR sebagai pemegang hak bujet ataupun
merupakan bagian dari cabang eksekutif. 
Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan
efisien jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang
simetris. Yang terakhir ini termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Sistem politik yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi
daerah juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu,
rakyat tidak akan mau membayar pajak dan investor enggan membeli Surat Utang
Negara.  Konflik antar daerah dapat dipicu oleh perasaan curiga karena tidak transparan
dan tidak akuntabelnya keuangan negara. 
Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua
membahas berbagai elemen perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara untuk
menjadikannya transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan era reformasi. Bagian
ketiga membahas temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)  tahun 2004, 2005 dan 2006. Bagian keempat
membahas kelemahan insitusional pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan otonomi.
Bagian kelima  membahas peranan yang  dapat dilakukan oleh DPR dan DPRD untuk
menindaklanjuti temuan BPK.
 
2. Upaya perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara,
pemerintah dalam era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh atas sistem
keuangan negara yang dipergunakan pada  masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi
                                                           
2
 Penjabaran lebih lanjut ketentuan UUD 1945 mengenai BPK dituangkan dalam Paket Tiga Undang-
Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. Ketiga
UU Keuangan Negara itu adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.   3
pertama adalah degan mengintegrasikan anggaran negara dengan meniadakan pembedaan
antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Kontrol atas APBN kini sepenuhnya
berada ditangan Menteri Keuangan. Sementara itu, peranan anggaran nonbujeter semakin
dikurangi. 
Administrasi dan pertanggungjawaban keuangan negara dirubah secara mendasar.
Jenis dan format laporan keuangan negara kini memberlakukan sistem pembukuan
berpasangan, menggunakan sistem akuntansi terpadu yang dikomputerisasi serta
menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit
akuntansi baik di kantor pusat maupun di  daerah. Perubahan mendasar atas struktur
APBN dan jenis, format serta cara pelaporannya dimuat dalam ketiga Undang-Undang di
bidang Keuangan Negara tahun 2003-2004. Koreksi yang kedua adalah dengan
mengintrodusi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni 20053
. SAP
ini merupakan yang pertama dikeluarkan oleh pemerintah setelah 60 tahun Republik
Indonesia berdiri. Koreksi yang ketiga adalah dengan menerbitkan UU No. 15 Tahun
20064
 yang memulihkan kebebasan dan kemandirian BPK dan sekaligus memperluas
objek pemeriksaannya.
Setelah 60 tahun kita berbangsa dan bernegara, pertanggungjawaban keuangan
negara yang transparan dan akuntabel baru dimulai dalam LKPP Tahun 2004. Walaupun
masih jauh dari sempurna LKPP itu memuat  rangkaian perubahan sistem fiskal yang
disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah
dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk
neraca dan format baru, yang telah diaudit  oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu
tonggak sejarah kemajuan dan bagian dari  perwujudan demokrasi politik yang juga
menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara.
LKPP yang merupakan  pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk baru
seperti sekarang ini adalah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan peralihan Pasal 36 ayat (2) UU No.
17/2003 tentang Keuangan Negara itu menyatakan bahwa ketentuan mengenai LKPP
dalam bentuk sekarang ini akan berlaku mulai APBN Tahun 2006. Namun demikian, UU
                                                           
3
 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005.
4
 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggantikan UU No. 5 Tahun
1973.   4
No. 28 Tahun 2003 tentang APBN Tahun 2004 telah memajukan awal mulai berlakunya
penerapan LKPP format baru dimaksud.  Undang-undang APBN Tahun 2004 tersebut
menyebutkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN oleh presiden sudah berupa
LKPP format baru. 
LKPP format baru sekarang ini adalah berbeda dengan laporan keuangan
Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Sistem
Akuntansi Pemerintah dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
5
. LKPP yang
berlaku sekarang ini adalah terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat
yang disusun berdasarkan LRA Kementerian  Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus
Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan Negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci,
tertib dan sistematis tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi transparansi fiskal
dan peningkatan akuntabilitas publik.
 
3. Temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN pada tingkat kementerian
negara/lembaga dan APBD di daerah belum seluruhnya direviu oleh aparat pengawasan
internal, sebagaimana diharapkan oleh undang-undang. Padahal, dewasa ini, pengawasan
internal pemerintah di Indonesia merupakan yang terumit didunia dan terdiri dari empat
lapis, yakni BPKP, Irjen/SPI, Bawasda Tingkat I dan Bawasda Tingkat II
6
. Keempat
pengawas internal pemerintah itu, terutama BPKP, memiliki jumlah sumber daya
manusia, jaringan kantor, peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada
BPK-RI. Seharusnya BPKP itu dapat digunakan oleh pemerintah untuk membangun
sistem akuntansi dan pertanggungjawaban keuangan negara serta mengatasi kelangkaan
tenaga akuntan pada instansi teknis agar dapat mengimplementasikan Paket Ketiga UU
tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004. 
                                                           
5
Surat Keputusan tersebut adalah SK Menteri Keuangan No.337/KMK/0.12/2003 tentang Sistem Akuntansi
dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/KMK.06/2005 tentang
hal yang sama. Kedua SK ini menggantikan Surat Keputusan No. 476/KMK.01/191 tentang Sistem
Akuntansi Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 295/KMK.012/2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pembukuan dan Pelaporan Keuangan pada Departemen/Lembaga.
6
 Pada masa Orde Baru, ada Irjenbang (Inspektur Jenderal Pembangunan) yang berada dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden.   5
Dari segi teknis, setidaknya ada tujuh kelemahan sistem pengendalian internal
keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP pada tahun anggaran
2004, 2005 dan 2006. Kelemahan tersebut adalah, pertama, masih perlunya perbaikan
mendasar sistem akuntansi keuangan negara  agar dapat diseragamkan sesuai dengan
sistem yang ditetapkan oleh Menteri  Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua,
perlunya sinkronisasi sistem komputer instansi pemerintah agar menjadi terintegrasi dan
kompatible antara satu dengan lainnya. Sebagaimana telah disebut dimuka, dewasa ini,
sistem komputer pemerintah belum dapat menyamai sistem komputer perbankan. 
Ketiga, perlunya mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal agar uang
negara tidak lagi tersebar diberbagai rekening yang tidak terpadu dan dikonsolidasikan.
Termasuk di dalamnya adalah rekening individu pejabat negara yang sudah lama
meninggal dunia. Karena tidak dikonsolidasikan, dana-dana yang tersebar itu tidak segera
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Agar dapat
mengetahui posisi keuangannya setiap saat, pemerintah perlu segera menerapkan sistem
perbendaharaan tunggal. 
Keempat, perlunya inventarisasi aset negara baik di tingkat pusat dan daerah.
Dalam kaitan ini, perlu ada perbaikan administrasi penempatan modal pemerintah pada
BUMN dan BUMD. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening Dana Investasi (RDI),
yang merupakan bagian dari modal pemerintah itu, merupakan praktik KKN. RDI
menjadi alternatif bagi kredit bank dan diberikan kepada badan usaha yang sebenarnya
mampu meminjam dari industri perbankan (bankable).  Alokasi RDI, yang berbunga
rendah dan risiko yang hampir tidak ada, dibuat oleh pejabat Depkeu dengan cara yang
kurang transparan dan penagihannya kembali pun hampir tidak pernah dilakukan secara
serius. Kelima, perlunya penyediaan tenaga  administrasi pembukuan pada setiap unit
instansi pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Keenam, perlunya
pembangunan jaringan sistem komputer pemerintah yang kompatibel antara satu dengan
lainnya
Ketujuh, perlunya transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara baik yang
bersumber dari pajak, migas dan penambangan sumber daya alam lainnya maupun dari
PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang
perubahan ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara   6
Perpajakan telah mengelimir kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa
penerimaan pajak. Sistem menghitung pajak sendiri (self asessment) yang digunakan
sejak tahun 1983, tanpa audit internal, telah membuka peluang bagi penyelewengan, baik
oleh wajib pajak maupun oleh petugas pajak. Akibatnya, rasio perpajakan (tax ratio)
tidak dapat ditingkatkan dari 13,5 dari PDB dewasa ini. Penetapan cost recovery oleh BP
Migas yang tidak rasional sangat menganggu penerimaan negara di tingkat pusat maupun
daerah penghasilnya. Sampai dengan bulan September 2007, Mahkamah Agung menolak
pemeriksaan BPK atas biaya perkara yang dipungutnya 
  Ketujuh temuan pemeriksaan di atas telah menyebabkan BPK memberikan opini
disclaimer pada LKPP selama tiga tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2004, 2005 dan
2006. Pemberian pendapat BPK atas pemeriksaan LKPP ketiga tahun anggaran itu adalah
didasarkan pada ketentuan Pasal 16, Ayat (1), UU No. 15 Tahun 2004 BPK. Opini
pemeriksaan BPK diberikannya berdasarkan tingkat kewajaran informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan negara berdasarkan kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, efektifitas sistem pengendalian internal
dan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku. 
Pemeriksaan terhadap LKPP selama tiga terakhir ini belum ditujukan untuk
menilai kinerja pemerintahan yang meliputi  aspek ekonomi, efisiensi dan efektifitas.
Salah satu alasannya adalah karena Pemerintah sendiri belum menetapkan tolok ukur
sasaran kegiatannya. Karena disusun berbasis kas, LKPP tidak memperhitungkan
kewajiban kontijensi Pemerintah. LKPP juga tidak mengungkapkan strategi pemerintah
untuk menunda pembayaran kepada kreditur maupun kontraktornya sebagai cara untuk
mengurangi defisit anggaran berbasis kas itu.
Perbaikan ketujuh kelemahan mendasar administrasi pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan di atas merupakan upaya preventif bagi penanggulangan
KKN. Hanya orang yang tidak mengerti tata negara dan tidak memahami ilmu akuntansi
serta keuangan negara yang mengatakan bahwa temuan pemeriksaan BPK itu bernuansa
politik.  Dengan opini LKPP seperti ini, sulit kiranya  bagi pemerintah untuk
meningkatkan peringkat SUN (Surat Utang  Negara) yang dijualnya di pasar dunia
sehingga mencapai  investment grade  agar dapat menurunkan  kupon atau tingkat suku
bunganya.   7
 
 
4. Kelemahan institusional pemerintah daerah untuk mewujudkan otonomi
 Karena lemahnya institusi Pemda, berbagai kelemahan internal dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban yang terjadi pada Pemerintah Pusat semakin
menonjol pada Pemerintah Daerah. Hampir semua daerah melanggar UU karena
menggunakan APBD untuk “membantu” instansi vertikal. Instansi vertikal yang
“dibantu” pada umumnya adalah yang punya kekuasaan, seperti Kepolisian, Kejaksaan,
Kehakiman dan TNI dan bukan guru-guru agama. Bentuk bantuan Pemda itu juga bukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya, membangun pos polisi
dipersimpangan jalan untuk mengatur lalu  lintas. ‘Bantuan’ itu biasanya diberikan
sebagai “uang lelah” pada saat pejabat pindah. 
 Selain dari penggunaan anggaran yang tidak tepat, sebagaimana disebut di atas,
ketidak tertiban pengelolaan keuangan di berbagai daerah juga tercermin pada berbagai
faktor lainnya. Pertama, pertanggungjawaban keuangan tidak disertai dengan bukti-bukti
pengeluaran yang lengkap, benar dan sah.  Kedua, penggunaan anggaran yang tidak
hemat. Ketiga, penyelesaian uang muka/UUDP yang berlarut-larut. Keempat, adanya
pembebanan kegiatan di luar mekanisme APBD. 
Kelemahan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan semakin terasa
pada provinsi dan kabupaten/kota yang baru dimekarkan. Berbagai daerah itu dimekarkan
bukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan kelayakan ekonomi yang rasional, tapi
karena ambisi elit politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan. Pemekaran
di berbagai daerah justru dipicu oleh konflik horisontal berdasarkan suku dan agama yang
justru menimbulkan kesengsaraan rakyat.  Sejak reformasi, jumlah provinsi telah
bertambah sebanyak tujuh dan kabupaten/kota sebanyak 141. Dengan demikian jumlah
provinsi telah bertambah dari 27 pada tahun 1988 menjadi 33 pada tahun 2007. Dalam
periode yang sama, jumlah kabupaten/kota telah meningkat dari 292 menjadi 483.
Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari RI pada tahun 2000 untuk menjadi negara
sendiri.
Ada dua faktor penyebab ketidak siapan Pemda untuk untuk melaksanakan
otonomi daerah. Penyebab pertama adalah karena, berbeda dengan di negara-negara lain,   8
otonomi daerah di Indonesia diberikan langsung kepada kabupaten/kota. Di lain pihak,
kabupaten/kota belum memiliki lembaga atau personil yang mampu menjalankan tugas
otonomi itu. Ini berbeda dengan di berbagai negara lain yang  memberikan otonomi
kepada provinsi yang sudah memiliki perangkat kelembagaan dan personil. Penyebab
kedua adalah karena Pemda sendiri yang menciptakan kebijakan yang distortif sehingga
memperburuk iklim usaha dan menimbulkan  high cost di daerahnya sendiri yang
menyebabkan perekonomian daerah tidak mampu  bersaing di pasar  dunia. Ini berbeda
dengan Pemda di RRC yang justru berlomba menarik sebanyak mungkin investor asing
untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan merangsang alih teknologi.
Lemahnya institusi Pemda tercermin dalam berbagai hal. Pertama, lemahnya
kemampuan aparat daerah untuk merumuskan kebijakan untuk dapat memanfaatkan
potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat di
daerahnya. Kedua, lemahnya kemampuan aparat daerah untuk mengimplementasikan
kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan
rakyat tersebut. Ketiga, kurang tersedianya sumber daya manusia untuk melaksanakan
tugas otonomi. Diperlukan ahli teknik  untuk dapat memelihara dan membangun
prasartana ekonomi. Diperlukan perawat dan dokter untuk dapat mengelola Puskesmas
dan Rumah Sakit dan guru yang bermutu untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Berbagai Pemda memboroskan APBD untuk mendapatkan gelar akademis, termasuk
doktor dan professor, bagi pejabat daerah tanpa adanya tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pembangunan ekonomi daerahnya.
Dalam kesempatan ini, saya beritahukan bahwa untuk pertama sekali dalam
sejarah Republik Indonesia, dewasa ini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas dana-
dana yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat kepada setiap Pemda. Hasil pemeriksaan itu
akan dapat menjawab kesuaian jumlah yang ditransfer dari pusat dengan yang diterima
oleh daerah, penempatan serta penggunaan dana-dana tersebut.  
 
 
5. Peranan DPR dan DPRD untuk menindaklajuti temuan BPK
  Peranan DPR dan DPRD masih perlu  ditingkatkan untuk dapat mewujudkan   9
transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Peranan DPR itu, disatu pihak, dapat
dilakukan dengan melakukan sinkronisasi undang-undang agar jangan bertentangan
antara satu dengan lainnya. Contoh pertentangan antara undang-undang itu adalah UU
Perpajakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Paket tiga UU Keuangan Negara
Tahun 2003-2004.  Di lain pihak, peranan  DPR dan DPRD untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas fiskal juga dapat diwujudkan melalui tindak lanjut temuan
BPK untuk menyempurnakan sistem pengendalian internal keuangan negara, 
Untuk dapat menindak lanjuti perbaikan kelemahan mendasar administrasi
keuangan negara tersebut, BPK telah menyarakan kepada DPR untuk dapat membentuk
suatu Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Di Parlemen negara asing PAP itu disebut
sebagai PAC-Public Account Committee. Dinegara lain itu, PAP diketuai oleh anggota
DPR dari partai oposisi untuk menjaga check and balance. PAP merupakan perwujudan
dari kekuasaan DPR dan DPRD sebagai  pemegang hak bujet. DPR dan DPRD di
Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran  untuk membahas rencana anggaran negara
tingkat Pusat dan Daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisi-komisi yang
mengawasi penggunaan anggaran dan kinerja sektoral Departemen teknis. Namun, DPR
dan DPRD kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan RAPBN dan RAPBD
secara keseluruhan. Misalnya, tidak pernah dilakukan pengecekan oleh DPR dan DPRD
bagaimana suatu instansi negara membelanjai dirinya, berapa dari sumber APBN/APBD
dan berapa dari sumber lainnya. 
Contoh dari anggaran nonbujeter yang tidak masuk dalam APBN adalah dana
nonbujeter yang tidak dilaporkan DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). Contoh
lainnya adalah pungutan Mahkamah Agung atas biaya perkara yang dipungutnya dari
pihak yang berperkara atas dasar aturan yang dibuat oleh MA sendiri. Aturan internal
MA itu tidak mengacu kepada UU PNBP dan penerbitannya tidak memperoleh ijin dari
Depkeu sebagai bendaharawan negara. Otonomi daerah yang menyerahkan pengurusan
sekolah dasar dan menengah, rumah sakit dan sebagian dari infrastruktur kepada daerah
menuntut cara pengorganisasian dan pembelanjaan yang berbeda daripada pada masa
pemerintahan yang sentralistis di masa lalu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar